|
Komunikasi Politik |
BAB I
Pendahuluan
|
Pers adalah lembaga sosial
(social institution) atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan
subsistem dari sistem pemerintahan di negara dimana ia beropreasi,
bersama-sama dengan subsistem lainnya.
Ditinjau dari sistem, pers merupakan sistem terbuka yang
probabilistik. Terbuka artinya bahwa pers tidak bebas dari
pengaruh lingkungan; tetapi dilain pihak pers juga mempengaruhi
lingkungan probabilistik berarti hasilnya tidak dapat diduga
secara pasti. Situasi seperti itu berbeda dengan sistem tertutup
yang deterministik. Dalam buku "Four Theories of the Press" dengan
penulis; Fres S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm.
bahwa Pers dapat dikategorikan menjadi;
1. authoritarian press (pers otoritarian)
2. libertarian press (pers libertarian)
3. soviet communist press atau pers komunis soviet
4. social responsibility press atau pers tanggung jawab sosial
kritikan terhadap empat teori diatas.
1. Lowenstein, dalam bukunya "Media, Messages, and Men"
mengatakan bahwa empat teori pers itu tidak fleksibel dan tidak
dapat diaplikasikan pada semua sistem pers. Kemudian ia
menyarankan "pendekatan dua deretan bertingkat" (two tiered
approach) yang mengidentifikasikan tipe kepemimpinan dan filsafat.
2. William Hachten, dalam karyanya "The World News Prism"
mengajukan "five concept typology" yg berpegan pada ideologi
authoritarian dan komunis serta kombinasi libertarian dan tanggung
jawab sosial ke dalam konsep barat, dan menambah dua teori baru:
"revolutionary dan developmental" (Merril, 1991:16-17)
Pengertian Pers
- arti sempit: media massa cetak seperti surat kabar, majalah
tabloid, dan sebagainya
- arti luas: media massa cetak elektronik, antara lain radio
siaran dan televisi siaran, sebagai media yg menyiarkan karya
jurnalistik.
Fungsi Pers
1. Fungsi Menyiarkan Informasi
2. Fungsi Mendidik
3. Fungsi Menghibur
4. Fungsi Mempengaruhi
Pers Pancasila
Sesungguhnya istilah Pers Pancasila sudah dikemukakan oleh
M.Wonohito, seorang wartawan senior kenamaan, jauh sebelum
dicanangkan secara resmi oleh Dewan Pers dalam Sidang Pleno XXV di
Surakarta pada tanggal 7-8 Desember 1984.
Alasan Wonohito untuk menampilkan apa yang ia sebutkan "Pancasila
Press Theory", dapat disimak dari paparannya berikut ini.
"Sesungguhnya pers tidak dapat diangkat dari dan tidak dapat
ditinjau lepas daripada struktur masyaraktnya. Membayangkan
seakan-akan pers lepas dari sosiological context salah besar. Sama
kelirunya apabila kita pura-pura tidak melihat adanya sociological
determination, suratan sosiologis yang berlaku terhadap tiap-tiap
lembaga kemasyarakatan.
oleh karena itu struktu sosial politik bersifat menentukan bagi
corak, sepak terjang serta tujuan yang hendak dicapai oleh Pers.
Dan karena struktur sospol dilandasi masyarakat, perspun
berlandaskan atas dan mencerminkan falsafah masyarakat".
Dalam Pembahasannya tiu Wonohito menyinggun pula empat teori pers
dari buku terkenal "Four Theories of the Press" yang ditulis oleh
Fred S Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm, keempat
teori pers itu menurutnya bolehlah kita tambahkan satu sistem lagi,
yaitu Pancasila Press Theory, sebab falsafah Pancasila melahirkan
teori pers sendiri, yang tidak termasuk dalam empat teorinya Siber,
Peterson dan Schramm itu.
intisari keputusan sidang pleno xxv dewan pers mengeani pers
pancasila itu, adalah sbb;
Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang
orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilan-nilai
Pancasila dan UUD 1945.
Pers Pembanguna adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan
Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers
itu sendiri.
Hakikat Pers Pancasila adalah Pers yang sehat, yakni pers yang
bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai
penyebar informasi yang benar dan objektif, penyaluran aspirasi
rakyat dan kontrol sosial konstruktif. Melalui hakikat dan funsi
pers pancasila mengembangkan suasana sain percaya menuju
masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggung jawab.
|
Bab II
Komunikasi dan Politik
|
Komunikasi Politik dalam Pers Indonesia
Pers Indonesia memiliki latar belakang sejarah yang erat
berhubungan dengan pergerakan nasional untuk memperjuangkan
kemerdekaan nasional, dan dengan itu perjuangan untuk memperbaiki
kehidupan rakyatnya. Meski posisi dan peranan pers mengalami
pergeseran sesuai dengan perkembangan sejarah negara dan sistem
politiknya, namun pers Indonesia memiliki karakter yang konstan,
yakni komitmen sosial-politik yang kuat.
Media massa umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku di mana
sistem itu hidup, sementara sistem pers itu sendiri tunduk pada
sistem politik yang ada. Dengan kata lain, sistem pers merupakan
subsistem dari sistem politik yang ada. Maka dalam setiap liputan
pemberitaan dengan sendirinya akan memperhatikan keterikatan
tersebut.
Indonesia saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan
bertanggungjawab. Konsep ini mengacu ke teori "pers tanggungjawab
sosial." Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan mengandung
di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus
bertanggungjawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi
penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Namun dalam
prakteknya, pers harus bertanggungjawab pada pemerintah.
Ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pers yang kritis dan
mencoba menjalankan kontrol sosial. Ada rambu-rambu yang tidak
tertulis, yang tidak bisa dilanggar. Misalnya: sulit dibayangkan
pers Indonesia secara lugas dan terbuka bisa memuat isu tuduhan
korupsi/kolusi/monopoli terhadap Presiden atau keluarganya.
Padahal di negara demokratis, pemberitaan kritis adalah biasa saja
dan jabatan Presiden bukan jabatan suci yang tak bisa disentuh.
Namun kalau toh rambu-rambu itu bisa diterima, bahkan batas-batas
rambu itu sendiri tidak pernah jelas, bisa mulur-mungkret
tergantung selera penguasa. Di era regim Orde Baru ini, ketika
suatu penerbitan dianggap pemberitaannya "bertentangan dengan
pembangunan", menghadapi risiko dibreidel.
Pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang berkali-kali
dilakukan regim Orde Baru, hakekatnya adalah sama dengan
pembreidelan, karena itu dilakukan atas alasan isi pemberitaan.
Padahal UU Pokok Pers tegas mengatakan tidak ada pembreidelan.
SIUPP seharusnya hanya berkaitan dengan faktor ekonomis/usaha,
bukan isi berita.
Di Indonesia, kalau kita bicara tentang "kebebasan pers," maka
kita kenal sebutan "Pers Pancasila." Di sini akan terlihat,
bagaimana Pancasila "diobral" dan dijadikan dalih untuk
melegitimasi berbagai tindakan dan praktek pembatasan kebebasan
pers.
Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984) merumuskan Pers
Pancasila sebagai berikut: "Pers Indonesia adalah Pers Pancasila
dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya
berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945." Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers
yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya
sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur
aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Kalau mengacu buku Sistem Pers Indonesia (Atmadi:1985), disebutkan,
akar dari sistem kebebasan pers Indonesia adalah landasan idiil,
ialah Pancasila, dengan landasan konstitusional, UUD 1945.
Kemudian disebutkan, pers adalah salah satu media pendukung
keberhasilan pembangunan. Bentuk dan isi pers Indonesia perlu
mencerminkan bentuk dan isi pembangunan. Kepentingan pers nasional
perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Inilah yang
disebut "pers pembangunan," model yang juga banyak diterapkan di
negara sedang berkembang lainnya.
Meski sepintas kedengarannya juga masih bagus, implikasinya adalah:
karena pembangunan dianggap sudah merupakan program regim Orde
Baru, maka pers harus mendukung pemerintah Orde Baru. Pers sangat
tidak diharapkan memuat pemberitaan yang isinya bisa ditafsirkan
tidak sejalan atau bertentangan dengan posisi pemerintah.
Lalu siapa yang berhak menafsirkan bahwa isi pemberitaan pers itu
bertentangan atau tidak bertentangan dengan pembangunan? Dalam
prakteknya, itu ditentukan oleh pemerintah sendiri. Dan karena
pemerintah sangat dominan dalam berbagai aspek kehidupan
sosial-politik, ini sangat membuka peluang bagi penyelewengan dan
pembatasan kebebasan pers. Pemerintah (Deppen) bertindak sebagai
jaksa, hakim dan sekaligus algojo, dalam membungkam pers yang
dianggap "melanggar batas."
Manfaat Keberadaan Komunikasi Politik
mengenai apa arti dan manfaatnya komunikasi politik dalam tatanan
kehidupan politik sehari-hari maka seharusnya masyarakat sudah
menangkap dengan jelas keberadaan model-model komunikasi yang
ditimbulkan dalam perpolitikan, peran komunikasi memegang peran
penting dalam mengupayakan kepekaaan setiap kejadian politik yang
berlangsung dewasa ini. Setelah kita memahami apakah komunikasi
dan dan definisi politik maka kita secara tidak langsung akan
memahami pola hubungan komunikasi yang terjadi didalamnya. Secara
umum juga dijelaskan bagaimana komunikasi politik muncul sebagai
suatu bidang studi yang mencoba untuk berdiri sendiri.
Dalam memahami mata kuliah ini diperkenalkan juga berbagai
pendekatan teoritik maupun metodologis yang mampu menjelaskan
komunikasi politik sebagai suatu suatu disiplin ilmu. Secara
operasional komunikasi politik ini juga memberikan contoh-contoh
konkrit dalam interaksi komunikasi maupun politik, baik dalam
lingkup nasional, regional maupun internasional. Oleh karena itu
pembahasan juga akan menyentuh disiplin lain secara terbatas,
seperti komunikasi internasional, hubungan internasional, maupun
dalam lingkup international political communication. Sementara
bidang-bidang lain yang relatif dianggap baru seperti ekonomi
politik media, teknologi media dibahas secara terbatas.
Dalam substansi operasionalnya akan dibahas mengenai batasan
komunikasi politik, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas.
Kemudian akan dibahas juga secara mendalam komunikasi persuasive
dalam komunikasi politik seperti bahasa politik, retorik politik,
iklan politik propaganda dan debat politik, sampai kepada
sosialisasi politik, kampanye politik, pendapat umum dan lainnya
kesemuanya dikaitkan dengan peran komunikasi sebagai komponen yang
dominan.
Ketika kita berbicara masalah komunikasi politik maka kita mau
tidak mau akan berbicara masalah komunikasi dan politik, dan akan
berbicara masalah komponen dan segala sesuatunya yang terdapat
didalamnya. Mata rantai disiplin ilmu kemudian akan nampak bahwa
komunikasi politik juga berhubungan dengan masalah sosial, budaya,
agama dan lain sebagainya. Sehingga jelas bahwa disini komunikasi
politik membelikan peluang untuk para praktisi mempelajarinya guna
memperkaya khasanah keilmuan dan mempertajam daya analisis.
|
|
|