Pengertian
Kode (Inggris: code, dan Latin:codex) adalah
buku undang-undang, kumpulan sandi, dan kta yang disepakati dalam
lalu lintas telegrafi serta susunan prinsip hidup dalam masyarakat.
Etik atau etika (Prancis:ethique, Latin:ethica,
Yunani:ethos) merupakan moral filosofi, filsafat praktis,
dan ajaran kesusilaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
terbitasn Depdikbud (1988), etika mengandung tiga pengertian:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak
dan kewajiban moral (akhlak);
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
dan
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.
Dengan demikian, Kode Etik Jurnalistik adalah aturan tata susila
kewartawanan, dan juga normal tertulis yang mengatur sikap,
tingkah laku, dan tata karma penerbitan.
Mengapa Perlu Kode Etik
Kode etik jurnalistik diperlukan karena membantu para wartawan
menentukan apa yang benar dan apa yang salah, baik atau buruk, dan
bertanggung jawab atau tidak dalam proses kerja kewartawanan.
Etika ditentukan dan dilaksanakan secara pribadi.
Secara sederhana, kaidah etika dirujuk dari kode etik (code of
ethics) yang bersifat normative dan universal sebagai
kewajiban moral yang harus dijalankan oleh institusi pers.
Epitsemologi diwujudkan melalui langkah metodologis berdasarkan
pedoman prilaku (code of conduct) yang bersifat praksis dan
spesifik bagi setiap wartawan dalam lingkup lembaga persnya. Nilai
dari kode etik bertumpu pada rasa malu dan bersalah (shamefully
and guilty feeling) dari hati nurani. Karena itulah kode etik
terkait dengan perkembangan dan pergeseran nilai masyarakat.
Pandangan Skeptis Terhadap Kode Etik
Bila demikian pentingnya fungsi kode etik, mengapa orang
bersikap skeptis dan memandang sebelah mata? Ada banyak alasan
mengapa sikap tersebut muncul. Salahsatunya adalah sikap wartawan
yang menempatkan cara mendapatkan berita dan tuntutan tenggat (deadline)
di atas segalanya. Masalah politik, hokum apalagi etika, bias jadi
urusan belakangan. Ini terjadi karena industri media cenderung
bersifat monopolistis dan berkembang dalam system ekonomi yang
megejar keuntungan. Berita semata-mata dipandang sebagai komoditas.
Para wartawan sering berkilah bahwa tindakan menyimpang justru
menarik untuk diliput karena masyarakat memeberi perhatian besar
terhadap berita-berita seperti itu.
Konsep mewartakan kebenaran sendiri rawan diperdebatkan. Banyak
pandangan menilai konsep jurnalisme objektif (objective
journalism) sebenarnya tidak ada. Kebenaran tidak mungkin
ditangkap oleh wartawan dari segala segi. Kebenaran hanya bias
dilihat seseorang berdasarkan perspektif tertentu. Hampir tidak
mungkin membedakan fakta dengan fiksi, opini dengan opinionated,
fakta dan opini. Pada masa Orde Baru, misalnya, kadang-kadang
fiksi lebih menggambarkan kenyataan daripada fakta yang
diberitakan koran.
Alasan lainnya adalah belum tercapainya dimens praktis dari kode
etik. Dari sekian banyak artikel, buku, pertemuan, diskusi, dan
seminar tentang etika umumnya tidak menjamah akar persoalan, yakni
bagaimana menerapkan segala pemahaman tersebut dalam suasana
hiruk-pikuk pada saat meliput dan menulis berita. Tampaknya tidak
ada jalan pintas untuk mencapai hal tersebut, kecuali lebih keras
untuk terus-menerus menguji pemahaman tersebut dalam
persoalan-persoalan nyata. |